Apasih
yang terbersit dalam benak pikiran anda ketika saya mengatakan titik kosong?
Pasti anda berasumsi bahwa hal tersebut berkaitan dengan suatu benda-misalnya
uang, buku, ataupun hal lain, karena pikiran kita menuntut untuk mengobjekan
sesuatu yang belum ada secara riil dengan suatu benda. Itu merupakan hal yang
wajar. Akan tetapi di sini saya akan mengungkap tabir tentang titik kosong/
nol, terutama dalam hal hikmah yang dapat kita ambil dari judul tersebut.
Masyarakat
dunia sangat mengenal Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar.
Namun, dibalik kedigdayaan Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar
ternyata hasil pemikirannya sangat dipengaruhi oleh ilmuwan Muslim bernama
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi. Dia adalah seorang tokoh yang dilahirkan di
Khiva (Iraq) pada tahun 780. Selama ini banyak kaum terpelajar lebih mengenal
para ahli matematika Eropa / Barat padahal sejatinya banyak ilmuwan Muslim yang
menjadi rujukan para ahli matematika dari barat.
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi inilah yang menemukan angka 0 (nol) yang
hingga kini dipergunakan. Apa jadinya coba jika angka 0 (nol) tidak ditemukan
coba? Selain itu, dia juga berjasa dalam ilmu ukur sudut melalui fungsi sinus
dan tanget, persamaan linear dan kuadrat serta kalkulasi integrasi (kalkulus
integral). Tabel ukur sudutnya (Tabel Sinus dan Tangent) adalah yang menjadi
rujukan tabel ukur sudut saat ini1.
Nol
adalah awal dari sebuah angka ataupun hitungan. Angka tersebut merupakan angka
sejati, sedangkan angka-angka yang lain hanyalah sebagai pelengkap. Setiap
sesuatu ada permulaan dan juga ada akhiran. Jika dilihat secara kuantitas,
setiap angka berasal dari nol dan kembali lagi ke angka tersebut. Begitu pula
semua yang ada di dalam dunia ini, semuanya tidaklah pasti. Kadang-kadang kita
melihat populitas seseorang di televisi melambung tinggi dan tidak berapa lama
kemudian tidak kelihatan lagi, jabatan yang diperoleh seseorang dengan mudah
juga tidak lama kemudian akan dicopot ataupun di PHK. Memang kadang terlihat lucu
ketika kita melihat seseorang yang kebakaran jenggot ketika keadaan yang
dulunya di atas terus diturunkan lagi oleh yang berwenang.
Kadang
kita menganggap dunia ini bertujuan untuk mencapai titik tertinggi (puncak),
semisal jabatan, kekayaan, karier, dan lain lain. Akan tetapi orang yang sudah
mencapai karier yang paling tinggi, kekayaan yang tidak ada saingannya, jabatan
pentolan, mereka akan kebingungan. Akan tetapi mereka bingung dengan apa yang
mereka cari-cari selama ini. Mereka akan kebingung menentukan arah dan tujuan
hidup, seolah-olah hidup Cuma seputar itu saja.
Pada
dasarnya hidup itu tidak akan selalu naik derajat, juga tidak akan selalu
terpuruk. Berangkat dari titik nol/ kosong. Semuanya berawal dari titik
tersebut, dan kembali ketitik tersebut. Maka dari itu orang yang mengerti
prinsip ini menjalani hidup dengan penuh ketegaran, lapang dada. Mereka akan
menyikapi hidup ini dengan sikap dewasa dan bijak.
Berangkat
dari sinilah mereka orang-orang ahli senyum hanya senyum sedikit melebarkan bibir
mereka ketika melihat orang-orang yang bingung ketika pada posisi di titik
puncak. Orang yang mengerti prinsip ini juga tidak terlalu sedih ataupun merasa
terpuruk ketika dalam musibah. Begitu pula ketika melihat orang-orang yang
dalam posisi tidak sesuai harapan.
Disini
kita dapat mengambil hikmah bahwa sesuatu yang ada di dunia ini sifatnya hanya
sementara-jabatan yang paling hanya berapa bulan atau tahun, karier hanya
berapa minggu. Sehingga kita tidak perlu bernafsu mengejar sesuatu yang
sifatnya hanya sementara. Begitu juga dengan hal-hal yang menurut kita
kelihatan wow! Kita akan bersikap sewajarnya. Karena hakikatnya itu hanyalah
bersifat sementara.
Semua
yang Allah berikan kita di
dunia ini sifatnya fana’ ataupun tidak kekal seperti contoh di atas. Alangkah
mengejutkannya jika seseorang mencintai sesuatu yang sifatnya gampang rusak.
Berangkat dari angka nol tersebut kita ambil hikmah bahwa kita diajarkan untuk
tidak mencintai sesuatu dengan berlebihan, karena jika kita kehilangan akan
sangat menyakitkan.
Syukurilah
sesuatu yang Allah berikan kepada kita, tidak terlalu mencintai apa yang Allah
berikan kepada kita, sehingga kita tidak bersedih terlalu dalam ketika diminta
allah kembali.